Sabtu, Oktober 31, 2009

The Religion of Ponsel

Ponsel atau telpon genggam, kini telah menjadi sarana wajib bagi hampir semua orang yang hidup di zaman kita. Ponsel menjadi alat komunikasi yang efektif dan praktis. Sudah jamak di mana-mana, ponsel kini telah menggantikan posisi alat-alat komunikasi manual zaman baheula (sekitar satu dekade silam), seperti telegram, surat, kartu pos, atau bahkan mesin faks sekali pun. Orang akan mengolok-olok ketika melihat kita berkirim surat cinta, kartu lebaran, atau telegram lewat kantor pos, atau mengirim surat dan gambar lewat mesin faks. Itu zaman dulu, sekitar sepuluh tahun silam. Tetapi sekarang, “hari gini gitu lho…,” mungkin itu komentar yang masuk ke telinga kita. Kalau kita masih bertipe jadul seperti itu, kesan orang umum kepada kita ada dua. Pertama, barangkali kita masuk kategori miskin, sampai-sampai masih berkutat pada sarana komunikasi murahan semacam itu. Atau, kedua, kita barangkali kaya, tetapi kita gaptek, sehingga tidak kenal dengan makhluk baru bernama ponsel.
Itu satu sisi, bahwa ponsel telah menjadi sarana komunikasi yang efektif, praktis dan efesien, menggantikan sarana lain yang manual, berbelit, ribet, dan mahal (surat, kartu pos, telegram, dst). Di sisi yang lain, ponsel juga menjadi simbol gengsi atau status sosial. Artinya, jika ada sekian puluh bahkan jutaan orang memakai ponsel, bisa kita identifikasi status sosial mereka dari ponsel yang mereka tenteng. Ponsel dengan elemen seperti kamera, teknologi 3G, memory-card, teknologi GPRS, apalagi dengan pulsa pasca-bayar, jelas menunjukkan kelas sosial menengah ke atas. Sebaliknya, jika ponselnya hanya sekadar bisa untuk menelpon dan kirim SMS, pulsanya pun jenis pra-bayar dengan nominal terkecil lima ribuan, terang sekali menunjukkan pemiliknya kalangan menengah ke bawah.

Fenomena Blackberry dan Facebook
Belum lama ini muncul gadget baru dalam dunia ponsel, yakni merek Blackberry, disingkat BB. Soal fasilitas, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ponsel-ponsel merek lain yang mengusung teknologi terbaru, yakni adanya fasilitas push-email, yang dengan itu pengguna bisa menerima dan mengirim email kapan dan di mana saja. Konon, untuk fasilitas yang satu ini, push-email, BB memang menawarkan kelebihan sedikit: mudah, aman, dan cepat. Lantas, apa kehebatan BB sehingga kini menjadi “demam” di mana-mana? Apa yang membuat banyak orang mengidolakannya sampai rela merogoh koceknya hingga lima jutaan lebih untuk sebuah gadget yang “tidak bagus-bagus amat” itu? Kenapa tidak melirik merek lain saja, wong paling selisih kualitasnya juga tidak jauh-jauh amat? Jawabannya: nama. Ya, BB sudah telanjur terkenal sebagai gadget yang bonafid, keren, dan elit. Karena kesan itulah, maka kemudian ia menjadi simbol gengsi dan status sosial yang melangit. 
Perkembangan terbaru yang tak kalah fenomenal dibanding BB adalah dengan munculnya situs jejaring yang belakangan sedang naik daun, Facebook, disingkat FB. Kenapa ini terkait dengan dunia ponsel? Karena umumnya orang mengakses situs ini dengan sarana ponsel, baik secara langsung atau tidak langsung (baca: sebagai modem ke PC/laptop). Tetapi, tentu saja, ponsel dengan teknologi tinggi, yakni support GPRS. Melalui ponsel yang support GPRS, kita bisa mengakses situs ini dan memungkinkan kita terhubung (connetcted) dengan siapa pun dan di mana pun. Kita bisa mencari (search) siapa pun yang kita kehendaki: teman lama, teman baru, LSM, yayasan, perusahaan, dst. Tinggal ketik saja sebuah nama atau istilah, tinggal tunggu saja hasilnya, sistem mesin FB akan mencarinya sendiri, dan pasti akan ditemukan. 
Bukan saja sebagai ajang mencari teman, silaturahmi, bisnis, dan semacamnya, bahkan situs ini, dengan adanya fitur menulis dan memperbarui “Status”, mem-posting gambar, video, chatting, secara langsung (mobile, online), memungkinkan kita untuk mengungkapkan diri, mengekspresikan diri, kapan saja, di mana saja, dan dalam situasi apa pun (sedih, gembira, depresi, stres, shock, dst). Sehingga, tidak jarang, kalau tak terkontrol, di situs FB ini kita bisa saja, misalnya, mengumbar hal-hal yang rahasia dari diri kita, atau menunjukkan narsisme-diri, di hadapan orang lain (sesama pengguna FB). Begitu canggih teknologi FB ini, yakni bisa “menyatukan” orang-orang satu sama lain secara online, maka tidak mengherankan jika ia pun “mendemam” di mana-mana, apalagi di tanah air kita hari-hari ini. Di mana-mana kita akan disodori pertanyaan: “Sudah punya akun di FB belum?” Jika jawabannya tidak, alamak, kasihan sekali kita. “Hari gini gitu loh, belum punya akun di FB,” begitu pasti komentar yang muncul. Maka FB menjadi simbol status sosial, kemajuan, dan pergaulan sosial. Orang yang punya akun FB dianggap sebagai kelas sosial tinggi (karena pasti ponsel-nya berteknologi mutakhir), atau, jika tidak, minimal tidak gaptek, tidak jadul, dan tentu saja “gaul”.

Agama Baru 
Pemerhati dunia digital belum lama ini merilis sebuah hasil penelitian yang mencengangkan, yakni bahwa sejak “mendemamnya” jejaring FB yang merampas waktu-waktu berharga hampir semua orang itu, dari anak kecil hingga orang kantoran, telah berdampak menurunnya kinerja sampai hanya tersiswa 40 persen saja. Dengan kata lain, kinerja kita turun sebanyak 60 persen. Kita, para fesbuker (begitu sapaan akrabnya), membuang percuma waktu kerja kita (apa saja, di kantor, di sawah, di rumah) sampai 60 persen hanya untuk berceloteh ringan dan saling lempar komentar di dunia maya FB. Betapa kerugian yang mahadahsyat? Kita, secara umum, membuang-buang waktu untuk hal-hal yang dangkal dan kurang berharga. 
Jika demikian halnya, maka (dunia) ponsel, yang direpresentasikan oleh fenomena Blackberry dan FB itu kini tak ubahnya menjadi “agama” baru dalam kehidupan sebagian besar kita. Apa alasannya bisa diasumsikan demikian? Erich Fromm, dalam bukunya yang monumental, Psichoanalysis and Religion (1950), mendefinisikan agama sebagai “… any system of thought and action shared by a group which gives the individual a frame of orientation and object of devotions.” Jadi agama bukan hanya dimaknai secara tradisional yang berhubungan dengan ritus-situs penyembahan kepada Tuhan, di mana konon kesyirikan hanya dipahami sebagai laku devosional pada obyek-obyek bendawi yang dianggap punya daya magis dan mistis seperti patung, berhala, arwah leluhur, tempat keramat, dan sejenisnya. Merujuk teori Fromm di atas, agama adalah apa saja yang merupakan sistem berpikir dan bertindak di mana seseorang menjadikan sesuatu sebagai kerangka orientasi dan (seakan-akan) “obyek sesembahan”.
Bayangkan saja, dengan adanya Blackberry di dunia ponsel, banyak orang kemudian mengukur kredibilitas dirinya bukan dengan menunjukkan cara berpikir atau tindak-tanduk perilaku yang mulia, atau melalui wawasan pengetahuan yang luas, akan tetapi dengan gadget yang ditentengnya. Seakan-akan, jika gadgetnya adalah smartphone, apalagi merek BB itu, berarti dia manusia kredibel dan terhormat. Sebaliknya, jika gadget yang ditentengnya jadul dan murahan, dia merasa seakan-akan serendah itu pula derajatnya. 
Lalu, dengan adanya Facebook (yang jelas included dalam teknologi ponsel), begitu banyak orang yang orientasinya beralih ke FB. Buktinya, jangankan waktu luang, waktu sibuk pun digunakan untuk memelototi layar ponsel (tentu rata-rata Blackberry) atau monitor PC demi melihat posting “status” dan “komentar” terbaru, atau ingin menulis apa pun yang dia pikirkan (sebab, dalam fitur FB, di halaman terdepan terpampang “Apa yang Anda pikirkan?”). Jika tidak demikian (baca: merampas waktu sibuk), mana mungkin ada kalkulasi bahwa kinerja kita turun 60 persen. Ibaratnya, mengakses FB itu di mana dan kapan saja, tak pandang tempat atau waktu. Jangankan santai, tidak jarang orang menulis “status” sambil makan, nyetir, mengajar, dan sebagainya. Ada yang merasa tidak bisa tidur jika belum lihat FB, tak sedikit pula yang sampai pagi tidak tidur, hanya untuk ber-FB ria. 
Di masjid-masjid, kini ada fenomena baru: jarang kita melihat jamaahnya memegangi atau menghitung biji-biji tasbih sehabis salat. Selesai salat, yang langsung dipegang adalah ponsel, karena ingin cepat-cepat melihat laporan “missed-call” atau pesan (SMS), tetapi rata-rata ingin melihat “status” dan “komentar” di FB. Dengan mencermati fenomena ini, jelas sekali, bukan sekadar kerangka orientasi, tetapi tidak ada bedanya dengan menjadikan ponsel—dengan FB-nya itu—sebagai (seakan-akan) obyek devosi.

“Penuhanan”
Ada sinyalmen di dalam al-Qur’an yang kurang lebih secara substansial senada dengan konsepsi Fromm tentang agama. Di dalam QS al-Furqan: 43, Allah bertanya: “… Apa kamu tidak memerhatikan kepada seseorang yang menjadikan hawa nafsu-nya sebagai tuhan? Apakah kamu bisa memberikan perlindungan kepadanya…?” Pengertian lain dari hawa nafsu adalah keinginan. Definisi keinginan dibedakan dari kebutuhan. Yang disebut pertama “melampaui” yang disebut terakhir. Kebutuhan atau keperluan itu bersifat mutlak dan musti dipenuhi, tidak bisa tidak. Sedangkan keinginan adalah sesuatu yang melebihi kebutuhan kita. Kita sebenarnya tidak perlu-perlu amat, bahkan mungkin tidak butuh sama sekali, terutama karena alasan ekonomi (dana, cost), tetapi tetap saja kita memaksakan diri untuk bisa memperolehnya.
Logikanya adalah sebagai berikut. Jika ditimbang-timbang secara ekonomis, akibat “demam” BB ini, berapa rupiah yang kita “sumbangkan” secara melimpah-ruah (baca: berjuta-juta) kepada para cukong telpon genggam? Asal tahu saja, sebagai standar, gadget ini dibandrol sekitar lima jutaan. Terus, karena ingar-bingar FB ini, berapa fulus yang kita gelontorkan secara bertubi-tubi kepada para bakul internet (operator seluler dan pemilik warnet) saban waktunya? Hampir semua operator kini menyediakan layanan pulsa internet, dari model paket sampai pasca bayar. Perenungan selanjutnya, tidakkah gara-gara demi kepemilikan gadget mahal dan “keren” itu kemudian anggaran untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasariah kita seperti: kesehatan, pendidikan anak, sandang pangan keluarga—baik dalam jangka pendek atau jangka panjang—menjadi berkurang atau malah terbengkalai? Jika demikian halnya, bukankah itu sama saja kita mengumbar keinginan (hasrat) yang remeh-temeh sembari mengabaikan kebutuhan (hajat) yang nota bene bersifat mutlak? Selanjutnya, akibat demam FB, berapa waktu kita yang terbuang sia-sia, baik di kantor, di kampus, di rumah, di jalan, dan seterusnya, yang mustinya bisa lebih kita alokasikan untuk kegiatan-kegiatan yang lebih produktif? Jika demikian halnya, bukankah sama halnya kita mengabaikan kewajiban hanya demi melampiaskan hal-hal yang “dangkal” dan tidak “mendalam” (buat “status”, kirim “komentar”, dan sejenisnya)? Dalam posisi ini, jangan-jangan kita termasuk yang disinggung oleh al-Qur’an dalam ayat di atas, yakni “orang-orang yang menjadikan hawa-nafsunya sebagai tuhan”, atau persisnya, “orang yang menuhankan hawa nafsu”. Na’udzu billah min dzalik.[*]