Sabtu, September 12, 2009

Tuhan dan Penyakit Kelamin

"Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk."
(Q.S. ath-Thin: 4)

Menurut Quraish Shihab, guru besar ilmu-ilmu Alquran dari UIN Jakarta, ketika Tuhan mengidentifikasi suatu perbuatan yang merujuk pada-Nya dengan kata ganti 'Kami' (Nahnu, Inna, dan sejenisnya), pola seperti itu menunjukkan bahwa di dalam proses pewujudan perbuatan tersebut ada keterlibatan pihak (subjek) lain—bukan hanya aktivitas Dia sendiri.
Misalnya ketika Tuhan menyatakan, "Sesungguhnya Kami (Inna) yang menurunkan al-Quran, dan sesungguhnya Kami-lah yang akan menjaganya," mengandung pengertian bahwa bukan Tuhan sendirian yang aktif menjaga Alquran, tetapi melibatkan pihak lain. Pihak lain tersebut, tentu saja, yang paling utama, mungkin adalah kaum hafidz dan hafidzah (penghafal Alquran). Baik di masa lalu maupun sekarang, kontribusi mereka bagi kelanggengan Alquran tidak mungkin dinafikan.
Di zaman modern seperti sekarang, termasuk pihak yang juga turut membantu Tuhan dalam proyek penjagaan tersebut adalah pemilik usaha cetak-mencetak. Alasannya logis sekali, bahwa tanpa mereka, mustahil mushaf Alquran bisa tersebar luas dan dibaca oleh khalayak umat Islam di pelbagai tempat, sehingga mereka bisa mendapat nilai ibadah dari pembacaan kalam Tuhan itu.
Bill Gates, ilmuwan komputer asal Amerika itu, juga mutlak perlu dimasukkan sebagai pembantu Tuhan dalam 'proyek abadi' ini. Sebab, tanpa kemajuan teknologi komputer yang diprakarsainya, yang kini dinikmati juga oleh banyak umat Muslim di dunia, mustahil ayat-ayat Alquran kini banyak tersimpan secara aman di CD, di file komputer dan seterusnya. Teknologi telpon dan satelit juga berjasa dalam 'proyek' ini. Sebab, dengan adanya teknologi internet, ayat-ayat Alquran yang termaktub secara digital di situs internet menjadi sangat terjamin keamanannya, sampai kapan pun. Bahkan sekarang berkembang program Alquran seluler, di mana kita bisa mendengar ayat-ayat suci Alquran yang kita inginkan melalui pesawat HP kita.

Nah, begitupun halnya ketika Tuhan mengidentifikasi dengan kata 'Kami' dalam hal penciptaan manusia, sebagaimana dijelaskan di dalam QS ath-Thin di atas, menunjukkan adanya pola 'kerjasama' antara Tuhan dengan makhluk-Nya di dalam proses pewujudan perbuatan tersebut (yakni: menciptakan manusia). Jadi, jelas sekali, keindahan bentuk kita, manusia: berkaki dua, bertangan dua, punya kuping, hidung, rambut, dan seterusnya, bukanlah semata-mata hasil kerja Tuhan sendiri, bahwa Tuhan seenaknya membuat yang demikian, semau gue, lalu kun fayakun, jadilah indah (ahsani taqwim)!. Akan tetapi, ada keterlibatan/peran kita, manusia, di dalam prosesnya. Manusia ikut berperan dalam menentukan indah atau tidak bentuk ciptaan Tuhan atas manusia. Ini artinya, realisasi ahsani taqwim, sebaik-baik bentuk ragawi/jasmaniah manusia, bukanlah 'monopoli' Tuhan.
Apabila ini disepakati, maka merupakan kesalahan besar jika kita menyalahkan Tuhan berkenaan dengan fakta banyaknya manusia yang, misalnya, secara fisik tidak mencapai 'derajat' ahsani taqwim (sebaik-baik bentuk jasmani).
Kata 'sebaik-baik bentuk' di sini tentu tidak mengkonotasi pada masalah cantik, tampan, langsing, atletis. Yang disebut cantik, tampan, dan seterusnya, semua itu relatif, tergantung 'bahan mentah'-nya. Ahsani taqwim merujuk pada ideal 'bentuk standar' manusia sebagai makhluk, yang sedemikian rupa dilengkapi dengan dua kaki dan tangan, hidung, kuping, bibir, dengan fungsi dan kegunaannya masing-masing, sehat jasmani dan rohani, dan seterusnya. Kualitas tubuh/jasmani yang tidak mencapai 'derajat' ahsani taqwim, maksudnya 'tidak memenuhi standar', misalnya lahir dengan mata buta, tangan atau kaki buntung, bisu, atau malah—yang paling parah—terjangkit virus AIDS (sehingga daya tahan tubuhnya sangat rapuh).
Siapa yang salah ketika ada anak manusia lahir tidak memenuhi standar ideal manusia sebagaimana mustinya? Sekali lagi, penulis ingin menegaskan, semata-mata menyalahkan Tuhan secara mutlak adalah salah besar.

***
Penulis pernah bertanya kepada seorang teman, kenapa umat Islam menentang lokalisasi PSK (pekerja seks komersil)? Dia serta-merta menganggap penulis retoris dengan pertanyaan tersebut. Sudah jelas-jelas, bahwa Islam (bahkan, katanya, agama-agama lain juga) melarang prostisusi. Itu perzinahan! Maka jika kita mengizinkan lokalisasi, sama artinya membiarkan kemaksiatan terjadi terang-terangan. Itu dosa besar yang tak mungkin diampuni, karena secara sengaja membiarkan kemungkaran, padahal kita punya kemampuan mencegahnya.
Maka terjadilah apa yang terjadi! Lokalisasi di mana-mana bubar, karena umat Islam menentangnya keras-keras. Belum lagi, semenjak era otonomi daerah seperti sekarang ini, bahkan muncul perda pelacuran, yang menjadi legitimasi konstitusional untuk membubarkan tempat-tempat pelacuran, menangkapi para PSK dan lelaki hidung belang, dan sebagainya. Maka, karena tidak punya tempat lagi untuk menjajakan "kenikmatan", para pelacur (PSK) pun jadi bebas, berkeliaran di segala tempat, bertransaksi dengan leluasa di segenap penjuru.
Lokalisasi, menurut penulis, dalam kacamata ushul fikih, punya nilai maslahat, yakni dalam konteks "membiarkan kemadharatan yang kecil demi menangkal munculnya kemadharatan yang lebih besar." Cara atau pendekatan seperti ini merupakan salah satu alternatif, dan secara ushul fikih sah-sah saja ditempuh. Ketika kita dijepit oleh keadaan yang dharurat, maka pelanggaran terhadap syari'at dimungkinkan/diperbolehkan. Seperti ketika misalnya di hutan belantara kita tidak menemukan sesuatu buat makan, dan yang ada adalah hewan yang secara normatif dilarang, babi misalnya, maka boleh mengkonsumsinya.
Dengan melokalisasi kaum PSK, maka kita, khususnya lembaga/instansi yang terkait, seperti dinas kesehatan, dinas Keluarga Berencana (KB), dinas sosial (Sobermas), dapat mengontrol dan memantau mereka (kaum PSK), terutama dari segi kesehatan medisnya. Ini, khususnya, berkaitan dengan kesehatan kelamin. Dengan dilokalisir, kita bisa mengidentifikasi, siapa PSK yang sudah terinveksi penyakit, semisal raja singa (siphilis), HIV, dan sejenisnya, sehingga langkah-langkah preventif agar penyakit bisa disembuhkan, tidak kronis atau akut, serta tidak menular (ke para pengguna jasa) bisa dilakukan semaksimal dan sedini mungkin.

Sekarang bayangkan jika lokalisasi dibubarkan. Para pengguna jasa banyak yang tidak tahu mana PSK yang 'layak pakai' dan 'tidak layak pakai', mana yang 'sehat' dan 'tidak sehat'. Mereka asal pakai saja, yang penting mereka sudah membayar, dengan jaminan 'servis memuaskan'. Ada anekdot menarik akhir-akhir ini (tetapi anekdot ini kabarnya bermula dari kejadian riil), bahwa tarif PSK di Yogyakarta terlalu mahal, padahal mereka cuma kelas 'pinggir jalan' (bukan di lokalisasi, misalnya Sarkem, Paris, dll). Sekali servis, dua ratus ribu. Mahal amat! Tetapi ada yang memberi pembelaan, "Harga itu sudah wajar. Hitungannya, sepuluh ribu buat pelacurnya, yang seratus sembilan puluh ribu untuk berobat (karena mereka sudah terkena penyakit kelamin)."
Persoalan berikutnya, ketika para pengguna jasa PSK yang telah (kemungkinan besar) tertular penyakit kelamin itu pulang, kemudian mereka berhubungan badan dengan pasangannya, dan jika menghasilkan anak di kemudian hari, anak-anak mereka sangat mungkin lahir dalam keadaan terjangkit penyakit, tidak normal, cacat, dll. Karena, secara medis, penyakit semacam HIV/AIDS seorang ibu dengan sendirinya akan menulari janin yang dikandungnya. Penyakit lain seperti infeksi mulut rahim, inveksi di vagina, dan sejenisnya, juga akan menjangkiti si janin ketika selnya masuk ke air ketuban pada saat kelahiran. Naudzubillah.
Dalam hal ini, tentu saja diakui atau tidak diakui, pembubaran lokalisasi ikut bertanggungjawab terhadap frenomena tersebut. Bisa dibayangkan sendiri, dalam waktu lima hingga sepuluh tahun ke depan, terhitung sejak maraknya pembubaran lokalisasi akhir-akhir ini, betapa banyak anak yang akan lahir dengan tubuh cacat, dengan penyakit bawaan (HIV/AIDS), dll. Dan Tuhan sama sekali tidak bertanggungjawab dalam hal ini. Dia selalu teguh dengan janji-Nya dan sifat dasar tindakan-Nya, bahwa Dia hanya akan menciptakan manusia dengan standar ahsani taqwim
(sebaik-baik bantuk). Yang bertanggungjawab adalah manusia, baik mereka yang memang sengaja menjadi pengguna jasa PSK yang tidak jelas status kesehatannya (dan setelah itu mereka berhubungan badan dengan pasangannya di rumah), maupun mereka yang setuju dengan pembubaran lokalisasi (sehingga menimbulkan tiadanya kontrol atas kondisi kesehatan kaum PSK).
Prostitusi tidak mungkin bisa dihilangkan. Sejarah pelacuran telah ada semenjak peradaban manusia dimulai. Pelacuran adalah budaya tertua dalam sejarah manusia. Kita tidak mungkin dapat membrantasnya. Yang bisa kita lakukan hanyalah meminimalisir keberadaannya, juga memperkecil efek atau dampak kemadharatan yang mungkin ditimbulkan olehnya. Meminimalisir keberadaannya, maksudnya, hendaknya kita bisa melakukan upaya-upaya riil dan humanis kepada para PSK, agar mereka meninggalkan pekerjaan tersebut dan bisa mencari usaha lain yang baru dan lebih baik.
Memperkecil dampak atau efek kemadharatan, artinya, andaipun pelacuran tetap sulit dihilangkan, atau kaum PSK sulit disadarkan untuk menekuni pekerjaan lain, maka setidaknya kita bisa melakukan langkah-langkah preventif agar akibat-akibat buruk yang ditimbulkan oleh prostisusi bisa dicegah.
Adalah hanya dengan lokalisasi, maka kedua langkah penting tersebut bisa dilaksanakan. Dengan adanya lokalisasi, maka kita bisa, misalnya, melakukan pendekatan, pengarahan, dan pembinaan tertentu secara sistematis dan terorganisir kepada kaum PSK, sehingga sangat mungkin mereka tersadarkan dan tidak kembali menekuni pekerjaan tersebut. Dengan adanya lokalisasi pula, kita akan bisa melakukan kontrol dan cek atas kesehatan kelamin kaum PSK. Yang belum parah, bisa ditangani secepatnya agar penyakitnya tidak makin menjadi. Yang sudah sampai taraf kronis, bisa diberhentikan dari kegiatan 'operasional'-nya. Ini tentu demi kemashlahatan semua. Artinya, dengan penanganan terlokalisir itulah kesehatan dan kelangsungan hidup para PSK mendapatkan perhatian, selain kemungkinan menyebarnya penyakit kelamin juga bisa diantisipasi—sehingga para pengguna jasa juga aman dari ketertularan.

Persoalan prostitusi sangatlah kompleks. Jika dalam penanganannya kita hanya menggunakan orientasi normatif (moral keagamaan), tak akan pernah selesai. Selalu ada kesenjangan antara ideal yang kita impikan dengan realitas empiris yang terjadi di lapangan. Maka yang kita perlukan, sebenarnya, adalah penanganan dengan orientasi kemashlahatan, yakni orientasi yang mempertimbangkan nilai-nilai humanis dan faktor-faktor sosial yang ada dalam masyarakat.
Artinya, bicara tentang pelacuran sebagai kategori perzinahan, berarti kita bicara tentang norma yang otoritatif di tengah masyarakat. Akan tetapi, fakta bahwa tidaklah semua orang patuh dan berpersepsi sama (dengan kita) terhadap orotitas tertentu, berarti kita berhadapan dengan kenyataan sosial yang musti kita selidiki secara cermat faktor-faktor yang melatarinya. Dan tentu saja, jika kenyataan sosial yang kita hadapi itu 'bermasalah' (menimbulkan masalah), tugas kita adalah bagaimana mencari jalan keluarnya secara bijak. Wallahu a'lam.(*)

Jumat, September 11, 2009

Spirit of Badar

Kita tentu masih ingat kisah perang Badar, yang menorehkan sejarah yang luar biasa dan spektakuler, tentang segelintir prajurit berjumlah 314 orang yang mengalahkan 1000 pasukan. Bukan hanya itu, perang Badar juga menjadi titik tolak mahapenting, karena bukan saja menjadi pertaruhan hidup mati kaum Muslimin yang baru saja masuk Islam, tetapi juga hidup mati dakwah Islam yang baru saja mereka rintis di tanah Arab.
Dua hal penting yang bisa kita ambil sebagai pelajaran atau hikmah yang tersembunyi dari kisah perang Badar. Pertama, bahwa kekuatan fisik atau materil, persisnya kwantitas, bukanlah jaminan meraih kesuksesan, kemenangan, atau kejayaan. Sebab, manusia hanya bergerak di wilayah usaha dan upaya (kasb), sedangkan ketentuan akhir (qadha) berada di tangan Tuhan. Kedua, bahwa perjuangan menegakkan kebenaran (dalam konteks perang Badar adalah kebenaran agama), merupakan perjuangan Sabilillah, perjuangan di jalan Tuhan. Siapa yang berjuang di jalan Tuhan, pastilah berada di dalam lindungan-Nya. Oleh karena itulah, tidak mustahil jika 314 orang pasukan Islam dapat meluluhlantakkan 1000 prajurit kafir, karena ada kekuatan ilahiah yang menaungi mereka (pasukan Badar). Kam min fi-atin qalilatin ghalabat fi-atan katsiratan bi-idznil-Lah; betapa banyak sekelompok kecil mengalahkan sekelompok besar, dengan izin Allah (QS al-Baqarah: 249).
Namun, apakah dengan hanya bermodal "berjuang di jalan kebenaran" saja sudah menjadi jaminan Allah akan memberi pertolongan-Nya kepada kita (yang sejumlah kecil)? Dalam kasus tertentu dan khusus barangkali ya, jika Allah, bila kaifa, memang berkehendak menunjukkan keagungan-Nya, memenangkan kebenaran-Nya? Dan ini (hanya) bisa kita pahami dalam konteks pola pikir "supra-rasional." Apakah kasus perang Badar masuk dalam konteks seperti ini atau tidak, bergantung dari persepsi masing-masing orang.

Sebaliknya, secara rasional, keberpihakan atawa komitmen kita kepada "jalan kebenaran" (sabilillah) tidaklah cukup demi menarik keterlibatan Tuhan dalam jejak langkah kita. Ada syarat tertentu yang musti dipenuhi. Memang cukup berat, tetapi demikianlah "aturan main"-nya. Al-Qur'an menyatakan dua syarat, yakni kesabaran dan ketakwaan. Allah menjanjikan dalam Ali Imran: 125: "Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bersiap-siaga, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda. (bala in tashbiru wa tattaquu wa ya'tukum min faurihim hadza yumdid kum bikhamsati alafin minal malaikati musawwimin" ). Sebab, bagi Allah memang telah jelas, seperti dijelaskan dalam ayat sebelumnya, Ali Imran: 120: "Jika kalian sabar dan takwa, maka segala daya upaya mereka tidak akan berpengaruh terhadap kalian...." (wa in tashbiru wa tattaqu la yadlurrukum kaiduhum syai'an...)
Apa itu sabar? Sabar adalah kebalikan dari ketergesaan ('ajalah), sehingga bisa pula dipahami dalam artian "menunggu" dan "menunda" demi suatu momentum yang tepat. Selain itu sabar dapat pula dimaknai ketabahan menunggu keputusan Allah, meski diliput penderitaan di dalam prosesnya.
Dalam konotasi yang berbeda, sabar juga berarti ketekunan dan keteguhan di dalam menjalankan perintah Allah serta menjauhi larangan-Nya, meskipun dalam proses seperti itu banyak sekali halangan serta rintangannya, yang tak jarang mensyaratkan pengorbanan harta, benda, jabatan, status sosial, bahkan nyawa. Sampai di poin inilah, maka menjadi sangat beralasan jika--sebagaimana tawaran konsepsi al-Qur'an--sabar disandingkan dengan takwa, ketakwaan, yang berarti "menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya". Sehingga maksudnya menjadi sangat jelas di sini, bahwa, pertama, hanya orang-orang yang teguh pendirian, tekun, ulet, serta tangguh di dalam menjalankan perintah-Nya serta mejauhi larangan-Nya; hanya mereka yang tetap loyal dan komit pada nilai-nilai kebenaran (jalan Tuhan, sabilillah), tanpa goyah sedikit pun, meski halang dan rintang syetaniah menghadang; hanya mereka yang tetap sabar di jalan takwa, yang memenuhi syarat untuk meraih mukjizat Tuhan dalam setiap jejak langkah mereka menuju kemenangan.

Lebih menariknya lagi, prinsip kesabaran di jalan takwa dalam hal ini dikaitkan dengan kelompok minoritas (fiatin qalilah). Dalam lanskap telaah pendekatan rasional ekstrem, ayat ini seakan-akan menjelaskan sebuah logika natural kepada kita, bahwa meski kita kelompok minoritas, akan tetapi keberpihakan kita begitu kuat kepada kebenaran, disertai kemampuan kita dalam memenej perjuangan dengan ketajaman intuisi dan kedalaman pemikiran, secara tekun, ulet, bersungguh-sungguh, maka jelas pada tataran lanjutnya, insya' Allah, bahkan pasti, akan menjadi kekuatan mahadahsyat yang bisa membuahkan revolusi. Sebab, selamanya masyarakat--dengan perangkat hati nuraninya--akan cenderung kepada kebenaran, cepat atau lambat adalah soal waktu. Dan, selamanya pula Tuhan pasti akan senantiasa berpihak kepada kebenaran, soal kapan Tuhan memenangkan kebenaran itu adalah soal waktu saja, serta bergantung juga sejauh mana kita sabar--dalam perjuangan--untuk menyongsongnya. Amien.

Bahasa Penguasa

Dalam film Dead Poets Society, sang guru sastra John Keating (diperankan oleh Robin Williams) bertanya kepada murid-murid SMU-nya, yang semuanya laki-laki: apa fungsi bahasa. Salah seorang murid menjawab, “untuk berkomunikasi,” dan murid-murid yang lain mengamininya. Keating, si guru nyentrik itu, mengatakan bahwa jawaban mereka salah. Bahasa diciptakan bukan untuk berkomunikasi. Bahasa, kata Keating dengan mimik serius, diciptakan untuk membuat para wanita pingsan!
Bahasa memang bisa bias kepentingan. Artinya, makna dan fungsinya bergantung pada siapa yang menggunakan. Faktor subyek di sini sangat menentukan. Nilai kebenaran maknawiah bahasa tidak pada dirinya sendiri, tetapi seringkali pada kepentingan yang bertengger di benak penuturnya, orang yang menggunakannya. Keating mungkin sebenarnya hendak mengatakan bahwa seorang laki-laki yang sedang jatuh cinta bisa punya kemampuan yang hebat untuk membuat bait-bait puisi yang indah tentang wanita pujaannya. Karena begitu indahnya, sedemikian mempesonanya, sampai-sampai bisa membuat sang wanita pingsan ketika mendengarnya.
Daripada di dunia seni (sastra), di dunia politik bahasa justru sangat kental nuansa kepentingannya. Dalam dunia politik, bahasa ‘dipoles’, dipolitisir sedemikian rupa demi kepentingan politik, misalnya saja untuk menggalang solidaritas politik tertentu. Apalagi jika suatu bahasa kebetulan memiliki sisi sensitif tertentu bagi rasa publik, maka jika dimanfaatkan dengan baik akan menjadi sarana yang efektif demi membentuk opini publik yang dikehendaki.

Dalam hal ini kita bisa membuka lembaran sejarah. Misalnya saja, bagaimana dahulu cikal bakal raja Mataram Islam, Panembahan Senapati, menggunakan strategi ‘rekayasa linguistik’ untuk membangun legitimasi politiknya dalam menghadapi Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) dari Pajang.
Alkisah, konon guru dari Sultan Hadiwijaya, yakni Sunan Giri, memperoleh visi spiritual (wangsit), bahwa di tanah perdikan yang diberikan kepada Pemanahan dan Juru Mertani itu (daerah sekitar Kotagede) akan berdiri kerajaan besar nan kuat yang akan menjadi ancaman bagi Pajang di masa depan. Ketika Hadiwijaya datang untuk ‘mengklarifikasi’ indikasi tersebut, Sutawijaya menampiknya. Sutawijaya menjamin bahwa ia tak akan membangun kerajaan tandingan, meskipun sejatinya pada waktu itu peran dan ketokohannya di wilayah Kotagede dan sekitarnya tak ubdahnya seorang raja atau sultan.
Untuk meyakinkan Hadiwijaya, Sutawijaya tidak menyematkan gelar yang mencitrakan diri sebagai raja. Ia tidak bergelar “Sultan” sebagaimana Hadiwijaya.
Akan tetapi, dibalik gelar yang disandang anak Ki Ageng Pemanahan itu, yakni “Panembahan Senapati ing Alaga Abdurrahman Khalipatullah Sayidin Panatagama kang jejuluk Hangabehi loring Pasar ya Jebeng Sutawijaya,” indikasi tersebut sebenarnya jelas sekali. Bodohnya, Hadiwijaya tidak menangkap maksud dan makna terdalam di balik ‘fenomena linguistik’ tersebut.
Panembahan, berarti yang disembah-sembah, dipundi-pundi, oleh masyarakat, sehingga sama artinya seorang raja, seorang sultan pada umumnya.
Senapati ing Alaga, artinya pemimpin atau panglima di medan perang. Ini berarti bahwa Sutawijaya menjadi pucuk pimpinan militer, dan berarti pula bahwa ia mempunyai kekuatan militer.
Khalipatullah, artinya wakil Allah, bayangan Tuhan di muka bumi, simbol kekuasaan Tuhan di muka bumi. Jadi tak ada bedanya dengan raja.
Sayidin Panatagama, artinya pemimpin agama, sehingga berwenang mengatur hukum-hukum agama (Islam). Ini berarti bahwa Sutawijaya punya wewenang dan otoritas di bidang hukum dan aturan-aturan kemasyarakatan.
Yang lebih jelas lagi adalah kata Hangabehi. Kata ini adalah akumulasi dari konsep-konsep gelar sebelumnya. Hangabehi artinya kang ngurus sekabehane, mengurusi segala hal, segala bidang yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat: ekonomi, sosial politik, agama, dst. Padahal, hanya seorang raja, atau kepala negara yang punya wewenang untuk mengurus segala hal semacam itu.
Adapun istilah lor ing Pasar, itu karena rumah Sutawijaya yang berada di utara pasar Kotagede. Akan tetapi yang terpenting adalah bahwa di sanalah, di utara pasar Kotagede itu, Sutawijaya memusatkan kegiatannya, yakni ngurus sekabehane. Di sanalah sebenarnya pusat konsolidasi politik Sutawijaya.
Dan di kemudian hari barulah terbukti, ketika Sultan Hadiwijaya berkali-kali meminta Sutawijaya untuk datang ke kerajaan Pajang demi menyatakan kesetiaan, permintaan itu tak pernah dipenuhi. Hadiwijaya terpaksa datang sendiri ke Mataram demi menumpas Sutawijaya karena dianggap
mbalelo, namun tindakan tersebut justru berujung pada kematiannya sendiri. Maka tidak lama kemudian, sebagaimana diketahui, berdirilah Mataram Islam dengan gagahnya, dan itu semata-mata berawal dari ‘rekayasa linguistik’. Di balik deretan gelar yang disusunnya, Sutawijaya menyimpan kepentingan tersembunyi yang tidak terdeteksi oleh lawan politiknya.
Sama halnya yang terjadi sekarang di sekitar kita, berkaitan dengan fenomena bahasa politik ini. Di satu pihak, kita mungkin menangkap makna atau arti suatu bahasa atau istilah tertentu secara obyektif, sesuai dengan pengertian yang dipahami secara umum (konvensional). Padahal, di lain pihak, penyelengara negara mungkin memiliki makna atau arti yang mereka definisikan sendiri, sesuai keinginan dan kepentingan mereka.
Misalnya saja kata atau istilah “perubahan”, yang menjadi slogan penting dalam ingar-bingar perpolitikan mutakhir kita. Para politisi, pejabat, penguasa, calon bupati, wakil rakyat, sepertinya gemar sekali ‘mengobral’ kata yang satu ini di depan publik. Kita yang awam memahami kata tersebut seadanya saja, secara obyektif, bahwa yang dimaksud adalah perubahan bagi nasib kita untuk lebih baik, baik di bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan hal-hal lain yang sangat bersentuhan dengan kebutuhan riil kita. Kita tidak pernah tahu secara pasti, apakah para pejabat dan politisi kita juga memahami kata “perubahan” seperti yang kita pahami dan definisikan itu. Tidak menutup kemungkinan, (jangan-jangan) mereka punya definisi sendiri tentang kata “perubahan” itu. Bisa saja yang dimaksud dengan “perubahan” itu sama sekali bukanlah perubahan nasib rakyat, tetapi perubahan nasib politisi dan pejabat sendiri setelah menduduki jabatan publik; perubahan itu menyangkut status sosial, fasilitas hidup, kekuasaan, dan sejenisnya. Wallahu a’lam
.(*)

JARAK MRAJAK JATI MATI

MENURUT Indonesianis Ben Anderson, orang Jawa memahami konsep kekuasaan secara tradisional. Kekuasaan tidaklah mutlak merupakan hasil dari sebuah usaha‑usaha rasional dalam ranah hubungan antar manusia. Kekuasaan lebih merupakan sesuatu yang given, sebuah pemberian atau anugerah dari Tuhan kepada orang -orang yang pinilih. Makanya dalam tradisi Jawa sering kita dengar istilah pemimpin karismatik, seseorang yang memiliki karisma kepemimpinan.
Karisma adalah semacam anugerah ilahiah, sehingga dipahami bahwa ada seseorang yang, terlepas dari proses rasional perjalanan hidupnya, memang telah ditakdirkan oleh Tuhan untuk menjadi pemimpin, penguasa, suatu kaum (rakyat).
Dalam kisah-kisah pewayangan dan kethoprak, penggambaran konsep kekuasaan Jawa ini cukup kentara, yakni adanya wacana-wacana seperti wahyu keprabon, pulung keprabon, wahyu senapati, dan semacamnya. Konsep kekuasaan sebagai sesuatu yang given tersirat, misalnya, melalui simbolisme tertentu. Ada peribahasa Jawa, misalnya, yang berbunyi: Tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati.
Kayu jati konon dipahami adalah rajanya pohon. Sebab, jati adalah pohon yang migunani dari segala elemennya: batang pohonnya, daunnya, tunggak dan akarnya. Yang terpenting lagi, jati adalah abadi, karena kayu jati awet dan tahan lama meski melewati usia puluhan bahkan ratusan tahun. Menimbang sisi fungsional serta karakternya yang "sempurna" itu, jati oleh orang Jawa dijadikan simbol dari seseorang yang punya karisma, terutama karisma kepemimpinan. Kebalikan dari simbolisme jati adalah jarak. Kayu atau pohon jarak adalah dari jenis yang biasa, setidaknya dibanding jati. Jika level jati adalah rajanya kayu, maka jarak berada di level bawah (meski bukan berarti paling bawah). Mungkin tepatnya jarak adalah salah satu kayu dari jenis grass root dalam keluarga pohon-pohonan. Analogi yang paling gampang kira-kira seperti itu. Taraf kegunaan pohon jarak dalam tradisi masyarakat Jawa tak lebih sekadar petanda batas tanah atau pekarangan. Kayu jarak tidak mungkin dijadikan kursi, pintu, atau sebagai saka guru seperti halnya kayu jati. Makanya disebut pohon jarak, karena ia sebatas berhubungan dengan batas (jarak) tanah atau pekarangan. Kayu jarak untuk menandakan trah jelata, orang biasa, rakyat awam pada umumnya.
"Tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati" adalah semacam satir untuk mengilustrasikan suatu keadaan di mana kekuasaan dipegang bukan oleh orang yang memiliki karisma kepemimpinan, seseorang yang, katakanlah, memiliki wahyu keprabon. Sebaliknya, kekuasaan malah dipegang oleh pemimpin gadungan, pemimpin dari kalangan biasa, rakyat jelata, yang sama sekali tidak memiliki karisma kepemimpinan. "Tunggak jarak mrajak," artinya di masyarakat banyak bermunculan pemimpin gadungan tadi, yang tidak punya karisma atau aura kepemimpinan. Sedangkan "tunggak jati mati", artinya bahwa orang-orang yang berkarisma, yang memiliki aura kepemimpinan, malah tenggelam, tersingkir, tidak menampakkan diri di tengah masyarakat (mati).
Dalam konteks demokrasi modern, konsep kejawen seperti itu sudah lama diabaikan, atau malah dicampakkan sama sekali. Selain tidak rasional, konsep seperti itu juga tidak punya bobot ilmiah. Tidak ada ukuran atau parameter yang obyektif untuk menyatakan bahwa seseorang ketiban wahyu, memiliki karisma dan aura kepemimpinan, kecuali berdasarkan dugaan ataupun klaim subyektif yang bersifat sepihak. Sebaliknya, demokrasi mengandaikan suatu kepemimpinan, kekuasaan, yang dicapai melalui usaha-usaha yang rasional dalam konteks hubungan antar manusia, berdasarkan semacam "kontrak sosial".
Jika semua orang, melalui mekanisme musyawarah kolektif, bersepakat menjadikan seseorang menjadi pemimpin, penguasa, maka jadilah ia, kun fayakun, tanpa peduli apakah ia punya karisma atau tidak, dari jenis jarak ataukah jati. Kehendak Tuhan tidak terwujud melalui wahyu, pulung, karisma, aura, tetapi melalui kehendak rakyat. Dalam demokrasi, suara rakyat adalah suara Tuhan.Dalam sudut pandang demokrasi pula, legitimasi seorang pemimpin lebih dikaitkan dengan makna (signifikansi) dan fungsi dari kedudukannya bagi sebesar-besar kepentingan rakyat. Sebab, sebenarnya sang pemilik sejati kedaulatan adalah rakyat belaka.
Pemimpin tidak lebih sekadar pemegang amanat kedaulatan tersebut, yang harus mengelolanya sedemikian hingga sesuai kehendak rakyat banyak. Jika dalam kepemimpinannya kepentingan rakyat justru diabaikan, hak-hak dasariahnya dipinggirkan, maka rakyat punya alasan kuat untuk mengkritik sang pemimpin, mengingatkannya, bahkan menuntutnya meletakkan jabatan jika perlu, tanpa harus menunggu periode kekuasaannya berakhir.
Andaikan peribahasa itu, "tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati", masih bisa kita aktualisasikan, yang paling mungkin adalah memaknainya secara substansial dan membagankannya dalam wawasan demokrasi. Jarak dan jati harus dikaitkan dengan salah satu prinsip demokrasi: untuk rakyat, artinya untuk kepentingan rakyat. Tunggak jarak mrajak," artinya di masyarakat banyak bermunculan, tumbuh, mrajak, pemimpin yang tidak aspiratif terhadap kepentingan masyarakat, meskipun mereka legitimatif (dipilih oleh masyarakat). Sebaliknya, tunggak jati mati, artinya pemimpin atau orang dengan integritas moral yang bagus, memiliki keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat, justru tenggelam, tersingkir, atau bahkan tidak bisa tampil sama sekali (karena tidak punya legitimasi dari publik) alias mati. Dari sudut pandang rakyat, tunggak jarak idealnya mati (saja), dan yang mrajak adalah tunggak jati. Sebab, jika tunggak jarak mrajak, tidak peduli dalam masyarakat tradisional atau modern, tidak peduli berpaham demokrasi atau yang lain, maka dampaknya sama saja: kesengsaraan dan penderitaan rakyat. Wallahu a'lam. ***