Sabtu, Oktober 31, 2009

The Religion of Ponsel

Ponsel atau telpon genggam, kini telah menjadi sarana wajib bagi hampir semua orang yang hidup di zaman kita. Ponsel menjadi alat komunikasi yang efektif dan praktis. Sudah jamak di mana-mana, ponsel kini telah menggantikan posisi alat-alat komunikasi manual zaman baheula (sekitar satu dekade silam), seperti telegram, surat, kartu pos, atau bahkan mesin faks sekali pun. Orang akan mengolok-olok ketika melihat kita berkirim surat cinta, kartu lebaran, atau telegram lewat kantor pos, atau mengirim surat dan gambar lewat mesin faks. Itu zaman dulu, sekitar sepuluh tahun silam. Tetapi sekarang, “hari gini gitu lho…,” mungkin itu komentar yang masuk ke telinga kita. Kalau kita masih bertipe jadul seperti itu, kesan orang umum kepada kita ada dua. Pertama, barangkali kita masuk kategori miskin, sampai-sampai masih berkutat pada sarana komunikasi murahan semacam itu. Atau, kedua, kita barangkali kaya, tetapi kita gaptek, sehingga tidak kenal dengan makhluk baru bernama ponsel.
Itu satu sisi, bahwa ponsel telah menjadi sarana komunikasi yang efektif, praktis dan efesien, menggantikan sarana lain yang manual, berbelit, ribet, dan mahal (surat, kartu pos, telegram, dst). Di sisi yang lain, ponsel juga menjadi simbol gengsi atau status sosial. Artinya, jika ada sekian puluh bahkan jutaan orang memakai ponsel, bisa kita identifikasi status sosial mereka dari ponsel yang mereka tenteng. Ponsel dengan elemen seperti kamera, teknologi 3G, memory-card, teknologi GPRS, apalagi dengan pulsa pasca-bayar, jelas menunjukkan kelas sosial menengah ke atas. Sebaliknya, jika ponselnya hanya sekadar bisa untuk menelpon dan kirim SMS, pulsanya pun jenis pra-bayar dengan nominal terkecil lima ribuan, terang sekali menunjukkan pemiliknya kalangan menengah ke bawah.

Fenomena Blackberry dan Facebook
Belum lama ini muncul gadget baru dalam dunia ponsel, yakni merek Blackberry, disingkat BB. Soal fasilitas, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ponsel-ponsel merek lain yang mengusung teknologi terbaru, yakni adanya fasilitas push-email, yang dengan itu pengguna bisa menerima dan mengirim email kapan dan di mana saja. Konon, untuk fasilitas yang satu ini, push-email, BB memang menawarkan kelebihan sedikit: mudah, aman, dan cepat. Lantas, apa kehebatan BB sehingga kini menjadi “demam” di mana-mana? Apa yang membuat banyak orang mengidolakannya sampai rela merogoh koceknya hingga lima jutaan lebih untuk sebuah gadget yang “tidak bagus-bagus amat” itu? Kenapa tidak melirik merek lain saja, wong paling selisih kualitasnya juga tidak jauh-jauh amat? Jawabannya: nama. Ya, BB sudah telanjur terkenal sebagai gadget yang bonafid, keren, dan elit. Karena kesan itulah, maka kemudian ia menjadi simbol gengsi dan status sosial yang melangit. 
Perkembangan terbaru yang tak kalah fenomenal dibanding BB adalah dengan munculnya situs jejaring yang belakangan sedang naik daun, Facebook, disingkat FB. Kenapa ini terkait dengan dunia ponsel? Karena umumnya orang mengakses situs ini dengan sarana ponsel, baik secara langsung atau tidak langsung (baca: sebagai modem ke PC/laptop). Tetapi, tentu saja, ponsel dengan teknologi tinggi, yakni support GPRS. Melalui ponsel yang support GPRS, kita bisa mengakses situs ini dan memungkinkan kita terhubung (connetcted) dengan siapa pun dan di mana pun. Kita bisa mencari (search) siapa pun yang kita kehendaki: teman lama, teman baru, LSM, yayasan, perusahaan, dst. Tinggal ketik saja sebuah nama atau istilah, tinggal tunggu saja hasilnya, sistem mesin FB akan mencarinya sendiri, dan pasti akan ditemukan. 
Bukan saja sebagai ajang mencari teman, silaturahmi, bisnis, dan semacamnya, bahkan situs ini, dengan adanya fitur menulis dan memperbarui “Status”, mem-posting gambar, video, chatting, secara langsung (mobile, online), memungkinkan kita untuk mengungkapkan diri, mengekspresikan diri, kapan saja, di mana saja, dan dalam situasi apa pun (sedih, gembira, depresi, stres, shock, dst). Sehingga, tidak jarang, kalau tak terkontrol, di situs FB ini kita bisa saja, misalnya, mengumbar hal-hal yang rahasia dari diri kita, atau menunjukkan narsisme-diri, di hadapan orang lain (sesama pengguna FB). Begitu canggih teknologi FB ini, yakni bisa “menyatukan” orang-orang satu sama lain secara online, maka tidak mengherankan jika ia pun “mendemam” di mana-mana, apalagi di tanah air kita hari-hari ini. Di mana-mana kita akan disodori pertanyaan: “Sudah punya akun di FB belum?” Jika jawabannya tidak, alamak, kasihan sekali kita. “Hari gini gitu loh, belum punya akun di FB,” begitu pasti komentar yang muncul. Maka FB menjadi simbol status sosial, kemajuan, dan pergaulan sosial. Orang yang punya akun FB dianggap sebagai kelas sosial tinggi (karena pasti ponsel-nya berteknologi mutakhir), atau, jika tidak, minimal tidak gaptek, tidak jadul, dan tentu saja “gaul”.

Agama Baru 
Pemerhati dunia digital belum lama ini merilis sebuah hasil penelitian yang mencengangkan, yakni bahwa sejak “mendemamnya” jejaring FB yang merampas waktu-waktu berharga hampir semua orang itu, dari anak kecil hingga orang kantoran, telah berdampak menurunnya kinerja sampai hanya tersiswa 40 persen saja. Dengan kata lain, kinerja kita turun sebanyak 60 persen. Kita, para fesbuker (begitu sapaan akrabnya), membuang percuma waktu kerja kita (apa saja, di kantor, di sawah, di rumah) sampai 60 persen hanya untuk berceloteh ringan dan saling lempar komentar di dunia maya FB. Betapa kerugian yang mahadahsyat? Kita, secara umum, membuang-buang waktu untuk hal-hal yang dangkal dan kurang berharga. 
Jika demikian halnya, maka (dunia) ponsel, yang direpresentasikan oleh fenomena Blackberry dan FB itu kini tak ubahnya menjadi “agama” baru dalam kehidupan sebagian besar kita. Apa alasannya bisa diasumsikan demikian? Erich Fromm, dalam bukunya yang monumental, Psichoanalysis and Religion (1950), mendefinisikan agama sebagai “… any system of thought and action shared by a group which gives the individual a frame of orientation and object of devotions.” Jadi agama bukan hanya dimaknai secara tradisional yang berhubungan dengan ritus-situs penyembahan kepada Tuhan, di mana konon kesyirikan hanya dipahami sebagai laku devosional pada obyek-obyek bendawi yang dianggap punya daya magis dan mistis seperti patung, berhala, arwah leluhur, tempat keramat, dan sejenisnya. Merujuk teori Fromm di atas, agama adalah apa saja yang merupakan sistem berpikir dan bertindak di mana seseorang menjadikan sesuatu sebagai kerangka orientasi dan (seakan-akan) “obyek sesembahan”.
Bayangkan saja, dengan adanya Blackberry di dunia ponsel, banyak orang kemudian mengukur kredibilitas dirinya bukan dengan menunjukkan cara berpikir atau tindak-tanduk perilaku yang mulia, atau melalui wawasan pengetahuan yang luas, akan tetapi dengan gadget yang ditentengnya. Seakan-akan, jika gadgetnya adalah smartphone, apalagi merek BB itu, berarti dia manusia kredibel dan terhormat. Sebaliknya, jika gadget yang ditentengnya jadul dan murahan, dia merasa seakan-akan serendah itu pula derajatnya. 
Lalu, dengan adanya Facebook (yang jelas included dalam teknologi ponsel), begitu banyak orang yang orientasinya beralih ke FB. Buktinya, jangankan waktu luang, waktu sibuk pun digunakan untuk memelototi layar ponsel (tentu rata-rata Blackberry) atau monitor PC demi melihat posting “status” dan “komentar” terbaru, atau ingin menulis apa pun yang dia pikirkan (sebab, dalam fitur FB, di halaman terdepan terpampang “Apa yang Anda pikirkan?”). Jika tidak demikian (baca: merampas waktu sibuk), mana mungkin ada kalkulasi bahwa kinerja kita turun 60 persen. Ibaratnya, mengakses FB itu di mana dan kapan saja, tak pandang tempat atau waktu. Jangankan santai, tidak jarang orang menulis “status” sambil makan, nyetir, mengajar, dan sebagainya. Ada yang merasa tidak bisa tidur jika belum lihat FB, tak sedikit pula yang sampai pagi tidak tidur, hanya untuk ber-FB ria. 
Di masjid-masjid, kini ada fenomena baru: jarang kita melihat jamaahnya memegangi atau menghitung biji-biji tasbih sehabis salat. Selesai salat, yang langsung dipegang adalah ponsel, karena ingin cepat-cepat melihat laporan “missed-call” atau pesan (SMS), tetapi rata-rata ingin melihat “status” dan “komentar” di FB. Dengan mencermati fenomena ini, jelas sekali, bukan sekadar kerangka orientasi, tetapi tidak ada bedanya dengan menjadikan ponsel—dengan FB-nya itu—sebagai (seakan-akan) obyek devosi.

“Penuhanan”
Ada sinyalmen di dalam al-Qur’an yang kurang lebih secara substansial senada dengan konsepsi Fromm tentang agama. Di dalam QS al-Furqan: 43, Allah bertanya: “… Apa kamu tidak memerhatikan kepada seseorang yang menjadikan hawa nafsu-nya sebagai tuhan? Apakah kamu bisa memberikan perlindungan kepadanya…?” Pengertian lain dari hawa nafsu adalah keinginan. Definisi keinginan dibedakan dari kebutuhan. Yang disebut pertama “melampaui” yang disebut terakhir. Kebutuhan atau keperluan itu bersifat mutlak dan musti dipenuhi, tidak bisa tidak. Sedangkan keinginan adalah sesuatu yang melebihi kebutuhan kita. Kita sebenarnya tidak perlu-perlu amat, bahkan mungkin tidak butuh sama sekali, terutama karena alasan ekonomi (dana, cost), tetapi tetap saja kita memaksakan diri untuk bisa memperolehnya.
Logikanya adalah sebagai berikut. Jika ditimbang-timbang secara ekonomis, akibat “demam” BB ini, berapa rupiah yang kita “sumbangkan” secara melimpah-ruah (baca: berjuta-juta) kepada para cukong telpon genggam? Asal tahu saja, sebagai standar, gadget ini dibandrol sekitar lima jutaan. Terus, karena ingar-bingar FB ini, berapa fulus yang kita gelontorkan secara bertubi-tubi kepada para bakul internet (operator seluler dan pemilik warnet) saban waktunya? Hampir semua operator kini menyediakan layanan pulsa internet, dari model paket sampai pasca bayar. Perenungan selanjutnya, tidakkah gara-gara demi kepemilikan gadget mahal dan “keren” itu kemudian anggaran untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasariah kita seperti: kesehatan, pendidikan anak, sandang pangan keluarga—baik dalam jangka pendek atau jangka panjang—menjadi berkurang atau malah terbengkalai? Jika demikian halnya, bukankah itu sama saja kita mengumbar keinginan (hasrat) yang remeh-temeh sembari mengabaikan kebutuhan (hajat) yang nota bene bersifat mutlak? Selanjutnya, akibat demam FB, berapa waktu kita yang terbuang sia-sia, baik di kantor, di kampus, di rumah, di jalan, dan seterusnya, yang mustinya bisa lebih kita alokasikan untuk kegiatan-kegiatan yang lebih produktif? Jika demikian halnya, bukankah sama halnya kita mengabaikan kewajiban hanya demi melampiaskan hal-hal yang “dangkal” dan tidak “mendalam” (buat “status”, kirim “komentar”, dan sejenisnya)? Dalam posisi ini, jangan-jangan kita termasuk yang disinggung oleh al-Qur’an dalam ayat di atas, yakni “orang-orang yang menjadikan hawa-nafsunya sebagai tuhan”, atau persisnya, “orang yang menuhankan hawa nafsu”. Na’udzu billah min dzalik.[*]

Sabtu, September 12, 2009

Tuhan dan Penyakit Kelamin

"Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk."
(Q.S. ath-Thin: 4)

Menurut Quraish Shihab, guru besar ilmu-ilmu Alquran dari UIN Jakarta, ketika Tuhan mengidentifikasi suatu perbuatan yang merujuk pada-Nya dengan kata ganti 'Kami' (Nahnu, Inna, dan sejenisnya), pola seperti itu menunjukkan bahwa di dalam proses pewujudan perbuatan tersebut ada keterlibatan pihak (subjek) lain—bukan hanya aktivitas Dia sendiri.
Misalnya ketika Tuhan menyatakan, "Sesungguhnya Kami (Inna) yang menurunkan al-Quran, dan sesungguhnya Kami-lah yang akan menjaganya," mengandung pengertian bahwa bukan Tuhan sendirian yang aktif menjaga Alquran, tetapi melibatkan pihak lain. Pihak lain tersebut, tentu saja, yang paling utama, mungkin adalah kaum hafidz dan hafidzah (penghafal Alquran). Baik di masa lalu maupun sekarang, kontribusi mereka bagi kelanggengan Alquran tidak mungkin dinafikan.
Di zaman modern seperti sekarang, termasuk pihak yang juga turut membantu Tuhan dalam proyek penjagaan tersebut adalah pemilik usaha cetak-mencetak. Alasannya logis sekali, bahwa tanpa mereka, mustahil mushaf Alquran bisa tersebar luas dan dibaca oleh khalayak umat Islam di pelbagai tempat, sehingga mereka bisa mendapat nilai ibadah dari pembacaan kalam Tuhan itu.
Bill Gates, ilmuwan komputer asal Amerika itu, juga mutlak perlu dimasukkan sebagai pembantu Tuhan dalam 'proyek abadi' ini. Sebab, tanpa kemajuan teknologi komputer yang diprakarsainya, yang kini dinikmati juga oleh banyak umat Muslim di dunia, mustahil ayat-ayat Alquran kini banyak tersimpan secara aman di CD, di file komputer dan seterusnya. Teknologi telpon dan satelit juga berjasa dalam 'proyek' ini. Sebab, dengan adanya teknologi internet, ayat-ayat Alquran yang termaktub secara digital di situs internet menjadi sangat terjamin keamanannya, sampai kapan pun. Bahkan sekarang berkembang program Alquran seluler, di mana kita bisa mendengar ayat-ayat suci Alquran yang kita inginkan melalui pesawat HP kita.

Nah, begitupun halnya ketika Tuhan mengidentifikasi dengan kata 'Kami' dalam hal penciptaan manusia, sebagaimana dijelaskan di dalam QS ath-Thin di atas, menunjukkan adanya pola 'kerjasama' antara Tuhan dengan makhluk-Nya di dalam proses pewujudan perbuatan tersebut (yakni: menciptakan manusia). Jadi, jelas sekali, keindahan bentuk kita, manusia: berkaki dua, bertangan dua, punya kuping, hidung, rambut, dan seterusnya, bukanlah semata-mata hasil kerja Tuhan sendiri, bahwa Tuhan seenaknya membuat yang demikian, semau gue, lalu kun fayakun, jadilah indah (ahsani taqwim)!. Akan tetapi, ada keterlibatan/peran kita, manusia, di dalam prosesnya. Manusia ikut berperan dalam menentukan indah atau tidak bentuk ciptaan Tuhan atas manusia. Ini artinya, realisasi ahsani taqwim, sebaik-baik bentuk ragawi/jasmaniah manusia, bukanlah 'monopoli' Tuhan.
Apabila ini disepakati, maka merupakan kesalahan besar jika kita menyalahkan Tuhan berkenaan dengan fakta banyaknya manusia yang, misalnya, secara fisik tidak mencapai 'derajat' ahsani taqwim (sebaik-baik bentuk jasmani).
Kata 'sebaik-baik bentuk' di sini tentu tidak mengkonotasi pada masalah cantik, tampan, langsing, atletis. Yang disebut cantik, tampan, dan seterusnya, semua itu relatif, tergantung 'bahan mentah'-nya. Ahsani taqwim merujuk pada ideal 'bentuk standar' manusia sebagai makhluk, yang sedemikian rupa dilengkapi dengan dua kaki dan tangan, hidung, kuping, bibir, dengan fungsi dan kegunaannya masing-masing, sehat jasmani dan rohani, dan seterusnya. Kualitas tubuh/jasmani yang tidak mencapai 'derajat' ahsani taqwim, maksudnya 'tidak memenuhi standar', misalnya lahir dengan mata buta, tangan atau kaki buntung, bisu, atau malah—yang paling parah—terjangkit virus AIDS (sehingga daya tahan tubuhnya sangat rapuh).
Siapa yang salah ketika ada anak manusia lahir tidak memenuhi standar ideal manusia sebagaimana mustinya? Sekali lagi, penulis ingin menegaskan, semata-mata menyalahkan Tuhan secara mutlak adalah salah besar.

***
Penulis pernah bertanya kepada seorang teman, kenapa umat Islam menentang lokalisasi PSK (pekerja seks komersil)? Dia serta-merta menganggap penulis retoris dengan pertanyaan tersebut. Sudah jelas-jelas, bahwa Islam (bahkan, katanya, agama-agama lain juga) melarang prostisusi. Itu perzinahan! Maka jika kita mengizinkan lokalisasi, sama artinya membiarkan kemaksiatan terjadi terang-terangan. Itu dosa besar yang tak mungkin diampuni, karena secara sengaja membiarkan kemungkaran, padahal kita punya kemampuan mencegahnya.
Maka terjadilah apa yang terjadi! Lokalisasi di mana-mana bubar, karena umat Islam menentangnya keras-keras. Belum lagi, semenjak era otonomi daerah seperti sekarang ini, bahkan muncul perda pelacuran, yang menjadi legitimasi konstitusional untuk membubarkan tempat-tempat pelacuran, menangkapi para PSK dan lelaki hidung belang, dan sebagainya. Maka, karena tidak punya tempat lagi untuk menjajakan "kenikmatan", para pelacur (PSK) pun jadi bebas, berkeliaran di segala tempat, bertransaksi dengan leluasa di segenap penjuru.
Lokalisasi, menurut penulis, dalam kacamata ushul fikih, punya nilai maslahat, yakni dalam konteks "membiarkan kemadharatan yang kecil demi menangkal munculnya kemadharatan yang lebih besar." Cara atau pendekatan seperti ini merupakan salah satu alternatif, dan secara ushul fikih sah-sah saja ditempuh. Ketika kita dijepit oleh keadaan yang dharurat, maka pelanggaran terhadap syari'at dimungkinkan/diperbolehkan. Seperti ketika misalnya di hutan belantara kita tidak menemukan sesuatu buat makan, dan yang ada adalah hewan yang secara normatif dilarang, babi misalnya, maka boleh mengkonsumsinya.
Dengan melokalisasi kaum PSK, maka kita, khususnya lembaga/instansi yang terkait, seperti dinas kesehatan, dinas Keluarga Berencana (KB), dinas sosial (Sobermas), dapat mengontrol dan memantau mereka (kaum PSK), terutama dari segi kesehatan medisnya. Ini, khususnya, berkaitan dengan kesehatan kelamin. Dengan dilokalisir, kita bisa mengidentifikasi, siapa PSK yang sudah terinveksi penyakit, semisal raja singa (siphilis), HIV, dan sejenisnya, sehingga langkah-langkah preventif agar penyakit bisa disembuhkan, tidak kronis atau akut, serta tidak menular (ke para pengguna jasa) bisa dilakukan semaksimal dan sedini mungkin.

Sekarang bayangkan jika lokalisasi dibubarkan. Para pengguna jasa banyak yang tidak tahu mana PSK yang 'layak pakai' dan 'tidak layak pakai', mana yang 'sehat' dan 'tidak sehat'. Mereka asal pakai saja, yang penting mereka sudah membayar, dengan jaminan 'servis memuaskan'. Ada anekdot menarik akhir-akhir ini (tetapi anekdot ini kabarnya bermula dari kejadian riil), bahwa tarif PSK di Yogyakarta terlalu mahal, padahal mereka cuma kelas 'pinggir jalan' (bukan di lokalisasi, misalnya Sarkem, Paris, dll). Sekali servis, dua ratus ribu. Mahal amat! Tetapi ada yang memberi pembelaan, "Harga itu sudah wajar. Hitungannya, sepuluh ribu buat pelacurnya, yang seratus sembilan puluh ribu untuk berobat (karena mereka sudah terkena penyakit kelamin)."
Persoalan berikutnya, ketika para pengguna jasa PSK yang telah (kemungkinan besar) tertular penyakit kelamin itu pulang, kemudian mereka berhubungan badan dengan pasangannya, dan jika menghasilkan anak di kemudian hari, anak-anak mereka sangat mungkin lahir dalam keadaan terjangkit penyakit, tidak normal, cacat, dll. Karena, secara medis, penyakit semacam HIV/AIDS seorang ibu dengan sendirinya akan menulari janin yang dikandungnya. Penyakit lain seperti infeksi mulut rahim, inveksi di vagina, dan sejenisnya, juga akan menjangkiti si janin ketika selnya masuk ke air ketuban pada saat kelahiran. Naudzubillah.
Dalam hal ini, tentu saja diakui atau tidak diakui, pembubaran lokalisasi ikut bertanggungjawab terhadap frenomena tersebut. Bisa dibayangkan sendiri, dalam waktu lima hingga sepuluh tahun ke depan, terhitung sejak maraknya pembubaran lokalisasi akhir-akhir ini, betapa banyak anak yang akan lahir dengan tubuh cacat, dengan penyakit bawaan (HIV/AIDS), dll. Dan Tuhan sama sekali tidak bertanggungjawab dalam hal ini. Dia selalu teguh dengan janji-Nya dan sifat dasar tindakan-Nya, bahwa Dia hanya akan menciptakan manusia dengan standar ahsani taqwim
(sebaik-baik bantuk). Yang bertanggungjawab adalah manusia, baik mereka yang memang sengaja menjadi pengguna jasa PSK yang tidak jelas status kesehatannya (dan setelah itu mereka berhubungan badan dengan pasangannya di rumah), maupun mereka yang setuju dengan pembubaran lokalisasi (sehingga menimbulkan tiadanya kontrol atas kondisi kesehatan kaum PSK).
Prostitusi tidak mungkin bisa dihilangkan. Sejarah pelacuran telah ada semenjak peradaban manusia dimulai. Pelacuran adalah budaya tertua dalam sejarah manusia. Kita tidak mungkin dapat membrantasnya. Yang bisa kita lakukan hanyalah meminimalisir keberadaannya, juga memperkecil efek atau dampak kemadharatan yang mungkin ditimbulkan olehnya. Meminimalisir keberadaannya, maksudnya, hendaknya kita bisa melakukan upaya-upaya riil dan humanis kepada para PSK, agar mereka meninggalkan pekerjaan tersebut dan bisa mencari usaha lain yang baru dan lebih baik.
Memperkecil dampak atau efek kemadharatan, artinya, andaipun pelacuran tetap sulit dihilangkan, atau kaum PSK sulit disadarkan untuk menekuni pekerjaan lain, maka setidaknya kita bisa melakukan langkah-langkah preventif agar akibat-akibat buruk yang ditimbulkan oleh prostisusi bisa dicegah.
Adalah hanya dengan lokalisasi, maka kedua langkah penting tersebut bisa dilaksanakan. Dengan adanya lokalisasi, maka kita bisa, misalnya, melakukan pendekatan, pengarahan, dan pembinaan tertentu secara sistematis dan terorganisir kepada kaum PSK, sehingga sangat mungkin mereka tersadarkan dan tidak kembali menekuni pekerjaan tersebut. Dengan adanya lokalisasi pula, kita akan bisa melakukan kontrol dan cek atas kesehatan kelamin kaum PSK. Yang belum parah, bisa ditangani secepatnya agar penyakitnya tidak makin menjadi. Yang sudah sampai taraf kronis, bisa diberhentikan dari kegiatan 'operasional'-nya. Ini tentu demi kemashlahatan semua. Artinya, dengan penanganan terlokalisir itulah kesehatan dan kelangsungan hidup para PSK mendapatkan perhatian, selain kemungkinan menyebarnya penyakit kelamin juga bisa diantisipasi—sehingga para pengguna jasa juga aman dari ketertularan.

Persoalan prostitusi sangatlah kompleks. Jika dalam penanganannya kita hanya menggunakan orientasi normatif (moral keagamaan), tak akan pernah selesai. Selalu ada kesenjangan antara ideal yang kita impikan dengan realitas empiris yang terjadi di lapangan. Maka yang kita perlukan, sebenarnya, adalah penanganan dengan orientasi kemashlahatan, yakni orientasi yang mempertimbangkan nilai-nilai humanis dan faktor-faktor sosial yang ada dalam masyarakat.
Artinya, bicara tentang pelacuran sebagai kategori perzinahan, berarti kita bicara tentang norma yang otoritatif di tengah masyarakat. Akan tetapi, fakta bahwa tidaklah semua orang patuh dan berpersepsi sama (dengan kita) terhadap orotitas tertentu, berarti kita berhadapan dengan kenyataan sosial yang musti kita selidiki secara cermat faktor-faktor yang melatarinya. Dan tentu saja, jika kenyataan sosial yang kita hadapi itu 'bermasalah' (menimbulkan masalah), tugas kita adalah bagaimana mencari jalan keluarnya secara bijak. Wallahu a'lam.(*)