Sabtu, September 12, 2009

Tuhan dan Penyakit Kelamin

"Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk."
(Q.S. ath-Thin: 4)

Menurut Quraish Shihab, guru besar ilmu-ilmu Alquran dari UIN Jakarta, ketika Tuhan mengidentifikasi suatu perbuatan yang merujuk pada-Nya dengan kata ganti 'Kami' (Nahnu, Inna, dan sejenisnya), pola seperti itu menunjukkan bahwa di dalam proses pewujudan perbuatan tersebut ada keterlibatan pihak (subjek) lain—bukan hanya aktivitas Dia sendiri.
Misalnya ketika Tuhan menyatakan, "Sesungguhnya Kami (Inna) yang menurunkan al-Quran, dan sesungguhnya Kami-lah yang akan menjaganya," mengandung pengertian bahwa bukan Tuhan sendirian yang aktif menjaga Alquran, tetapi melibatkan pihak lain. Pihak lain tersebut, tentu saja, yang paling utama, mungkin adalah kaum hafidz dan hafidzah (penghafal Alquran). Baik di masa lalu maupun sekarang, kontribusi mereka bagi kelanggengan Alquran tidak mungkin dinafikan.
Di zaman modern seperti sekarang, termasuk pihak yang juga turut membantu Tuhan dalam proyek penjagaan tersebut adalah pemilik usaha cetak-mencetak. Alasannya logis sekali, bahwa tanpa mereka, mustahil mushaf Alquran bisa tersebar luas dan dibaca oleh khalayak umat Islam di pelbagai tempat, sehingga mereka bisa mendapat nilai ibadah dari pembacaan kalam Tuhan itu.
Bill Gates, ilmuwan komputer asal Amerika itu, juga mutlak perlu dimasukkan sebagai pembantu Tuhan dalam 'proyek abadi' ini. Sebab, tanpa kemajuan teknologi komputer yang diprakarsainya, yang kini dinikmati juga oleh banyak umat Muslim di dunia, mustahil ayat-ayat Alquran kini banyak tersimpan secara aman di CD, di file komputer dan seterusnya. Teknologi telpon dan satelit juga berjasa dalam 'proyek' ini. Sebab, dengan adanya teknologi internet, ayat-ayat Alquran yang termaktub secara digital di situs internet menjadi sangat terjamin keamanannya, sampai kapan pun. Bahkan sekarang berkembang program Alquran seluler, di mana kita bisa mendengar ayat-ayat suci Alquran yang kita inginkan melalui pesawat HP kita.

Nah, begitupun halnya ketika Tuhan mengidentifikasi dengan kata 'Kami' dalam hal penciptaan manusia, sebagaimana dijelaskan di dalam QS ath-Thin di atas, menunjukkan adanya pola 'kerjasama' antara Tuhan dengan makhluk-Nya di dalam proses pewujudan perbuatan tersebut (yakni: menciptakan manusia). Jadi, jelas sekali, keindahan bentuk kita, manusia: berkaki dua, bertangan dua, punya kuping, hidung, rambut, dan seterusnya, bukanlah semata-mata hasil kerja Tuhan sendiri, bahwa Tuhan seenaknya membuat yang demikian, semau gue, lalu kun fayakun, jadilah indah (ahsani taqwim)!. Akan tetapi, ada keterlibatan/peran kita, manusia, di dalam prosesnya. Manusia ikut berperan dalam menentukan indah atau tidak bentuk ciptaan Tuhan atas manusia. Ini artinya, realisasi ahsani taqwim, sebaik-baik bentuk ragawi/jasmaniah manusia, bukanlah 'monopoli' Tuhan.
Apabila ini disepakati, maka merupakan kesalahan besar jika kita menyalahkan Tuhan berkenaan dengan fakta banyaknya manusia yang, misalnya, secara fisik tidak mencapai 'derajat' ahsani taqwim (sebaik-baik bentuk jasmani).
Kata 'sebaik-baik bentuk' di sini tentu tidak mengkonotasi pada masalah cantik, tampan, langsing, atletis. Yang disebut cantik, tampan, dan seterusnya, semua itu relatif, tergantung 'bahan mentah'-nya. Ahsani taqwim merujuk pada ideal 'bentuk standar' manusia sebagai makhluk, yang sedemikian rupa dilengkapi dengan dua kaki dan tangan, hidung, kuping, bibir, dengan fungsi dan kegunaannya masing-masing, sehat jasmani dan rohani, dan seterusnya. Kualitas tubuh/jasmani yang tidak mencapai 'derajat' ahsani taqwim, maksudnya 'tidak memenuhi standar', misalnya lahir dengan mata buta, tangan atau kaki buntung, bisu, atau malah—yang paling parah—terjangkit virus AIDS (sehingga daya tahan tubuhnya sangat rapuh).
Siapa yang salah ketika ada anak manusia lahir tidak memenuhi standar ideal manusia sebagaimana mustinya? Sekali lagi, penulis ingin menegaskan, semata-mata menyalahkan Tuhan secara mutlak adalah salah besar.

***
Penulis pernah bertanya kepada seorang teman, kenapa umat Islam menentang lokalisasi PSK (pekerja seks komersil)? Dia serta-merta menganggap penulis retoris dengan pertanyaan tersebut. Sudah jelas-jelas, bahwa Islam (bahkan, katanya, agama-agama lain juga) melarang prostisusi. Itu perzinahan! Maka jika kita mengizinkan lokalisasi, sama artinya membiarkan kemaksiatan terjadi terang-terangan. Itu dosa besar yang tak mungkin diampuni, karena secara sengaja membiarkan kemungkaran, padahal kita punya kemampuan mencegahnya.
Maka terjadilah apa yang terjadi! Lokalisasi di mana-mana bubar, karena umat Islam menentangnya keras-keras. Belum lagi, semenjak era otonomi daerah seperti sekarang ini, bahkan muncul perda pelacuran, yang menjadi legitimasi konstitusional untuk membubarkan tempat-tempat pelacuran, menangkapi para PSK dan lelaki hidung belang, dan sebagainya. Maka, karena tidak punya tempat lagi untuk menjajakan "kenikmatan", para pelacur (PSK) pun jadi bebas, berkeliaran di segala tempat, bertransaksi dengan leluasa di segenap penjuru.
Lokalisasi, menurut penulis, dalam kacamata ushul fikih, punya nilai maslahat, yakni dalam konteks "membiarkan kemadharatan yang kecil demi menangkal munculnya kemadharatan yang lebih besar." Cara atau pendekatan seperti ini merupakan salah satu alternatif, dan secara ushul fikih sah-sah saja ditempuh. Ketika kita dijepit oleh keadaan yang dharurat, maka pelanggaran terhadap syari'at dimungkinkan/diperbolehkan. Seperti ketika misalnya di hutan belantara kita tidak menemukan sesuatu buat makan, dan yang ada adalah hewan yang secara normatif dilarang, babi misalnya, maka boleh mengkonsumsinya.
Dengan melokalisasi kaum PSK, maka kita, khususnya lembaga/instansi yang terkait, seperti dinas kesehatan, dinas Keluarga Berencana (KB), dinas sosial (Sobermas), dapat mengontrol dan memantau mereka (kaum PSK), terutama dari segi kesehatan medisnya. Ini, khususnya, berkaitan dengan kesehatan kelamin. Dengan dilokalisir, kita bisa mengidentifikasi, siapa PSK yang sudah terinveksi penyakit, semisal raja singa (siphilis), HIV, dan sejenisnya, sehingga langkah-langkah preventif agar penyakit bisa disembuhkan, tidak kronis atau akut, serta tidak menular (ke para pengguna jasa) bisa dilakukan semaksimal dan sedini mungkin.

Sekarang bayangkan jika lokalisasi dibubarkan. Para pengguna jasa banyak yang tidak tahu mana PSK yang 'layak pakai' dan 'tidak layak pakai', mana yang 'sehat' dan 'tidak sehat'. Mereka asal pakai saja, yang penting mereka sudah membayar, dengan jaminan 'servis memuaskan'. Ada anekdot menarik akhir-akhir ini (tetapi anekdot ini kabarnya bermula dari kejadian riil), bahwa tarif PSK di Yogyakarta terlalu mahal, padahal mereka cuma kelas 'pinggir jalan' (bukan di lokalisasi, misalnya Sarkem, Paris, dll). Sekali servis, dua ratus ribu. Mahal amat! Tetapi ada yang memberi pembelaan, "Harga itu sudah wajar. Hitungannya, sepuluh ribu buat pelacurnya, yang seratus sembilan puluh ribu untuk berobat (karena mereka sudah terkena penyakit kelamin)."
Persoalan berikutnya, ketika para pengguna jasa PSK yang telah (kemungkinan besar) tertular penyakit kelamin itu pulang, kemudian mereka berhubungan badan dengan pasangannya, dan jika menghasilkan anak di kemudian hari, anak-anak mereka sangat mungkin lahir dalam keadaan terjangkit penyakit, tidak normal, cacat, dll. Karena, secara medis, penyakit semacam HIV/AIDS seorang ibu dengan sendirinya akan menulari janin yang dikandungnya. Penyakit lain seperti infeksi mulut rahim, inveksi di vagina, dan sejenisnya, juga akan menjangkiti si janin ketika selnya masuk ke air ketuban pada saat kelahiran. Naudzubillah.
Dalam hal ini, tentu saja diakui atau tidak diakui, pembubaran lokalisasi ikut bertanggungjawab terhadap frenomena tersebut. Bisa dibayangkan sendiri, dalam waktu lima hingga sepuluh tahun ke depan, terhitung sejak maraknya pembubaran lokalisasi akhir-akhir ini, betapa banyak anak yang akan lahir dengan tubuh cacat, dengan penyakit bawaan (HIV/AIDS), dll. Dan Tuhan sama sekali tidak bertanggungjawab dalam hal ini. Dia selalu teguh dengan janji-Nya dan sifat dasar tindakan-Nya, bahwa Dia hanya akan menciptakan manusia dengan standar ahsani taqwim
(sebaik-baik bantuk). Yang bertanggungjawab adalah manusia, baik mereka yang memang sengaja menjadi pengguna jasa PSK yang tidak jelas status kesehatannya (dan setelah itu mereka berhubungan badan dengan pasangannya di rumah), maupun mereka yang setuju dengan pembubaran lokalisasi (sehingga menimbulkan tiadanya kontrol atas kondisi kesehatan kaum PSK).
Prostitusi tidak mungkin bisa dihilangkan. Sejarah pelacuran telah ada semenjak peradaban manusia dimulai. Pelacuran adalah budaya tertua dalam sejarah manusia. Kita tidak mungkin dapat membrantasnya. Yang bisa kita lakukan hanyalah meminimalisir keberadaannya, juga memperkecil efek atau dampak kemadharatan yang mungkin ditimbulkan olehnya. Meminimalisir keberadaannya, maksudnya, hendaknya kita bisa melakukan upaya-upaya riil dan humanis kepada para PSK, agar mereka meninggalkan pekerjaan tersebut dan bisa mencari usaha lain yang baru dan lebih baik.
Memperkecil dampak atau efek kemadharatan, artinya, andaipun pelacuran tetap sulit dihilangkan, atau kaum PSK sulit disadarkan untuk menekuni pekerjaan lain, maka setidaknya kita bisa melakukan langkah-langkah preventif agar akibat-akibat buruk yang ditimbulkan oleh prostisusi bisa dicegah.
Adalah hanya dengan lokalisasi, maka kedua langkah penting tersebut bisa dilaksanakan. Dengan adanya lokalisasi, maka kita bisa, misalnya, melakukan pendekatan, pengarahan, dan pembinaan tertentu secara sistematis dan terorganisir kepada kaum PSK, sehingga sangat mungkin mereka tersadarkan dan tidak kembali menekuni pekerjaan tersebut. Dengan adanya lokalisasi pula, kita akan bisa melakukan kontrol dan cek atas kesehatan kelamin kaum PSK. Yang belum parah, bisa ditangani secepatnya agar penyakitnya tidak makin menjadi. Yang sudah sampai taraf kronis, bisa diberhentikan dari kegiatan 'operasional'-nya. Ini tentu demi kemashlahatan semua. Artinya, dengan penanganan terlokalisir itulah kesehatan dan kelangsungan hidup para PSK mendapatkan perhatian, selain kemungkinan menyebarnya penyakit kelamin juga bisa diantisipasi—sehingga para pengguna jasa juga aman dari ketertularan.

Persoalan prostitusi sangatlah kompleks. Jika dalam penanganannya kita hanya menggunakan orientasi normatif (moral keagamaan), tak akan pernah selesai. Selalu ada kesenjangan antara ideal yang kita impikan dengan realitas empiris yang terjadi di lapangan. Maka yang kita perlukan, sebenarnya, adalah penanganan dengan orientasi kemashlahatan, yakni orientasi yang mempertimbangkan nilai-nilai humanis dan faktor-faktor sosial yang ada dalam masyarakat.
Artinya, bicara tentang pelacuran sebagai kategori perzinahan, berarti kita bicara tentang norma yang otoritatif di tengah masyarakat. Akan tetapi, fakta bahwa tidaklah semua orang patuh dan berpersepsi sama (dengan kita) terhadap orotitas tertentu, berarti kita berhadapan dengan kenyataan sosial yang musti kita selidiki secara cermat faktor-faktor yang melatarinya. Dan tentu saja, jika kenyataan sosial yang kita hadapi itu 'bermasalah' (menimbulkan masalah), tugas kita adalah bagaimana mencari jalan keluarnya secara bijak. Wallahu a'lam.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar