Jumat, September 11, 2009

Spirit of Badar

Kita tentu masih ingat kisah perang Badar, yang menorehkan sejarah yang luar biasa dan spektakuler, tentang segelintir prajurit berjumlah 314 orang yang mengalahkan 1000 pasukan. Bukan hanya itu, perang Badar juga menjadi titik tolak mahapenting, karena bukan saja menjadi pertaruhan hidup mati kaum Muslimin yang baru saja masuk Islam, tetapi juga hidup mati dakwah Islam yang baru saja mereka rintis di tanah Arab.
Dua hal penting yang bisa kita ambil sebagai pelajaran atau hikmah yang tersembunyi dari kisah perang Badar. Pertama, bahwa kekuatan fisik atau materil, persisnya kwantitas, bukanlah jaminan meraih kesuksesan, kemenangan, atau kejayaan. Sebab, manusia hanya bergerak di wilayah usaha dan upaya (kasb), sedangkan ketentuan akhir (qadha) berada di tangan Tuhan. Kedua, bahwa perjuangan menegakkan kebenaran (dalam konteks perang Badar adalah kebenaran agama), merupakan perjuangan Sabilillah, perjuangan di jalan Tuhan. Siapa yang berjuang di jalan Tuhan, pastilah berada di dalam lindungan-Nya. Oleh karena itulah, tidak mustahil jika 314 orang pasukan Islam dapat meluluhlantakkan 1000 prajurit kafir, karena ada kekuatan ilahiah yang menaungi mereka (pasukan Badar). Kam min fi-atin qalilatin ghalabat fi-atan katsiratan bi-idznil-Lah; betapa banyak sekelompok kecil mengalahkan sekelompok besar, dengan izin Allah (QS al-Baqarah: 249).
Namun, apakah dengan hanya bermodal "berjuang di jalan kebenaran" saja sudah menjadi jaminan Allah akan memberi pertolongan-Nya kepada kita (yang sejumlah kecil)? Dalam kasus tertentu dan khusus barangkali ya, jika Allah, bila kaifa, memang berkehendak menunjukkan keagungan-Nya, memenangkan kebenaran-Nya? Dan ini (hanya) bisa kita pahami dalam konteks pola pikir "supra-rasional." Apakah kasus perang Badar masuk dalam konteks seperti ini atau tidak, bergantung dari persepsi masing-masing orang.

Sebaliknya, secara rasional, keberpihakan atawa komitmen kita kepada "jalan kebenaran" (sabilillah) tidaklah cukup demi menarik keterlibatan Tuhan dalam jejak langkah kita. Ada syarat tertentu yang musti dipenuhi. Memang cukup berat, tetapi demikianlah "aturan main"-nya. Al-Qur'an menyatakan dua syarat, yakni kesabaran dan ketakwaan. Allah menjanjikan dalam Ali Imran: 125: "Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bersiap-siaga, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda. (bala in tashbiru wa tattaquu wa ya'tukum min faurihim hadza yumdid kum bikhamsati alafin minal malaikati musawwimin" ). Sebab, bagi Allah memang telah jelas, seperti dijelaskan dalam ayat sebelumnya, Ali Imran: 120: "Jika kalian sabar dan takwa, maka segala daya upaya mereka tidak akan berpengaruh terhadap kalian...." (wa in tashbiru wa tattaqu la yadlurrukum kaiduhum syai'an...)
Apa itu sabar? Sabar adalah kebalikan dari ketergesaan ('ajalah), sehingga bisa pula dipahami dalam artian "menunggu" dan "menunda" demi suatu momentum yang tepat. Selain itu sabar dapat pula dimaknai ketabahan menunggu keputusan Allah, meski diliput penderitaan di dalam prosesnya.
Dalam konotasi yang berbeda, sabar juga berarti ketekunan dan keteguhan di dalam menjalankan perintah Allah serta menjauhi larangan-Nya, meskipun dalam proses seperti itu banyak sekali halangan serta rintangannya, yang tak jarang mensyaratkan pengorbanan harta, benda, jabatan, status sosial, bahkan nyawa. Sampai di poin inilah, maka menjadi sangat beralasan jika--sebagaimana tawaran konsepsi al-Qur'an--sabar disandingkan dengan takwa, ketakwaan, yang berarti "menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya". Sehingga maksudnya menjadi sangat jelas di sini, bahwa, pertama, hanya orang-orang yang teguh pendirian, tekun, ulet, serta tangguh di dalam menjalankan perintah-Nya serta mejauhi larangan-Nya; hanya mereka yang tetap loyal dan komit pada nilai-nilai kebenaran (jalan Tuhan, sabilillah), tanpa goyah sedikit pun, meski halang dan rintang syetaniah menghadang; hanya mereka yang tetap sabar di jalan takwa, yang memenuhi syarat untuk meraih mukjizat Tuhan dalam setiap jejak langkah mereka menuju kemenangan.

Lebih menariknya lagi, prinsip kesabaran di jalan takwa dalam hal ini dikaitkan dengan kelompok minoritas (fiatin qalilah). Dalam lanskap telaah pendekatan rasional ekstrem, ayat ini seakan-akan menjelaskan sebuah logika natural kepada kita, bahwa meski kita kelompok minoritas, akan tetapi keberpihakan kita begitu kuat kepada kebenaran, disertai kemampuan kita dalam memenej perjuangan dengan ketajaman intuisi dan kedalaman pemikiran, secara tekun, ulet, bersungguh-sungguh, maka jelas pada tataran lanjutnya, insya' Allah, bahkan pasti, akan menjadi kekuatan mahadahsyat yang bisa membuahkan revolusi. Sebab, selamanya masyarakat--dengan perangkat hati nuraninya--akan cenderung kepada kebenaran, cepat atau lambat adalah soal waktu. Dan, selamanya pula Tuhan pasti akan senantiasa berpihak kepada kebenaran, soal kapan Tuhan memenangkan kebenaran itu adalah soal waktu saja, serta bergantung juga sejauh mana kita sabar--dalam perjuangan--untuk menyongsongnya. Amien.

1 komentar:

  1. siang pak, saya sedang mencari buku "TEknik Menulis Cerita Anak", apakah bapak pengarang buku tersebut ? terima kasih yenni

    BalasHapus