Jumat, September 11, 2009

Bahasa Penguasa

Dalam film Dead Poets Society, sang guru sastra John Keating (diperankan oleh Robin Williams) bertanya kepada murid-murid SMU-nya, yang semuanya laki-laki: apa fungsi bahasa. Salah seorang murid menjawab, “untuk berkomunikasi,” dan murid-murid yang lain mengamininya. Keating, si guru nyentrik itu, mengatakan bahwa jawaban mereka salah. Bahasa diciptakan bukan untuk berkomunikasi. Bahasa, kata Keating dengan mimik serius, diciptakan untuk membuat para wanita pingsan!
Bahasa memang bisa bias kepentingan. Artinya, makna dan fungsinya bergantung pada siapa yang menggunakan. Faktor subyek di sini sangat menentukan. Nilai kebenaran maknawiah bahasa tidak pada dirinya sendiri, tetapi seringkali pada kepentingan yang bertengger di benak penuturnya, orang yang menggunakannya. Keating mungkin sebenarnya hendak mengatakan bahwa seorang laki-laki yang sedang jatuh cinta bisa punya kemampuan yang hebat untuk membuat bait-bait puisi yang indah tentang wanita pujaannya. Karena begitu indahnya, sedemikian mempesonanya, sampai-sampai bisa membuat sang wanita pingsan ketika mendengarnya.
Daripada di dunia seni (sastra), di dunia politik bahasa justru sangat kental nuansa kepentingannya. Dalam dunia politik, bahasa ‘dipoles’, dipolitisir sedemikian rupa demi kepentingan politik, misalnya saja untuk menggalang solidaritas politik tertentu. Apalagi jika suatu bahasa kebetulan memiliki sisi sensitif tertentu bagi rasa publik, maka jika dimanfaatkan dengan baik akan menjadi sarana yang efektif demi membentuk opini publik yang dikehendaki.

Dalam hal ini kita bisa membuka lembaran sejarah. Misalnya saja, bagaimana dahulu cikal bakal raja Mataram Islam, Panembahan Senapati, menggunakan strategi ‘rekayasa linguistik’ untuk membangun legitimasi politiknya dalam menghadapi Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) dari Pajang.
Alkisah, konon guru dari Sultan Hadiwijaya, yakni Sunan Giri, memperoleh visi spiritual (wangsit), bahwa di tanah perdikan yang diberikan kepada Pemanahan dan Juru Mertani itu (daerah sekitar Kotagede) akan berdiri kerajaan besar nan kuat yang akan menjadi ancaman bagi Pajang di masa depan. Ketika Hadiwijaya datang untuk ‘mengklarifikasi’ indikasi tersebut, Sutawijaya menampiknya. Sutawijaya menjamin bahwa ia tak akan membangun kerajaan tandingan, meskipun sejatinya pada waktu itu peran dan ketokohannya di wilayah Kotagede dan sekitarnya tak ubdahnya seorang raja atau sultan.
Untuk meyakinkan Hadiwijaya, Sutawijaya tidak menyematkan gelar yang mencitrakan diri sebagai raja. Ia tidak bergelar “Sultan” sebagaimana Hadiwijaya.
Akan tetapi, dibalik gelar yang disandang anak Ki Ageng Pemanahan itu, yakni “Panembahan Senapati ing Alaga Abdurrahman Khalipatullah Sayidin Panatagama kang jejuluk Hangabehi loring Pasar ya Jebeng Sutawijaya,” indikasi tersebut sebenarnya jelas sekali. Bodohnya, Hadiwijaya tidak menangkap maksud dan makna terdalam di balik ‘fenomena linguistik’ tersebut.
Panembahan, berarti yang disembah-sembah, dipundi-pundi, oleh masyarakat, sehingga sama artinya seorang raja, seorang sultan pada umumnya.
Senapati ing Alaga, artinya pemimpin atau panglima di medan perang. Ini berarti bahwa Sutawijaya menjadi pucuk pimpinan militer, dan berarti pula bahwa ia mempunyai kekuatan militer.
Khalipatullah, artinya wakil Allah, bayangan Tuhan di muka bumi, simbol kekuasaan Tuhan di muka bumi. Jadi tak ada bedanya dengan raja.
Sayidin Panatagama, artinya pemimpin agama, sehingga berwenang mengatur hukum-hukum agama (Islam). Ini berarti bahwa Sutawijaya punya wewenang dan otoritas di bidang hukum dan aturan-aturan kemasyarakatan.
Yang lebih jelas lagi adalah kata Hangabehi. Kata ini adalah akumulasi dari konsep-konsep gelar sebelumnya. Hangabehi artinya kang ngurus sekabehane, mengurusi segala hal, segala bidang yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat: ekonomi, sosial politik, agama, dst. Padahal, hanya seorang raja, atau kepala negara yang punya wewenang untuk mengurus segala hal semacam itu.
Adapun istilah lor ing Pasar, itu karena rumah Sutawijaya yang berada di utara pasar Kotagede. Akan tetapi yang terpenting adalah bahwa di sanalah, di utara pasar Kotagede itu, Sutawijaya memusatkan kegiatannya, yakni ngurus sekabehane. Di sanalah sebenarnya pusat konsolidasi politik Sutawijaya.
Dan di kemudian hari barulah terbukti, ketika Sultan Hadiwijaya berkali-kali meminta Sutawijaya untuk datang ke kerajaan Pajang demi menyatakan kesetiaan, permintaan itu tak pernah dipenuhi. Hadiwijaya terpaksa datang sendiri ke Mataram demi menumpas Sutawijaya karena dianggap
mbalelo, namun tindakan tersebut justru berujung pada kematiannya sendiri. Maka tidak lama kemudian, sebagaimana diketahui, berdirilah Mataram Islam dengan gagahnya, dan itu semata-mata berawal dari ‘rekayasa linguistik’. Di balik deretan gelar yang disusunnya, Sutawijaya menyimpan kepentingan tersembunyi yang tidak terdeteksi oleh lawan politiknya.
Sama halnya yang terjadi sekarang di sekitar kita, berkaitan dengan fenomena bahasa politik ini. Di satu pihak, kita mungkin menangkap makna atau arti suatu bahasa atau istilah tertentu secara obyektif, sesuai dengan pengertian yang dipahami secara umum (konvensional). Padahal, di lain pihak, penyelengara negara mungkin memiliki makna atau arti yang mereka definisikan sendiri, sesuai keinginan dan kepentingan mereka.
Misalnya saja kata atau istilah “perubahan”, yang menjadi slogan penting dalam ingar-bingar perpolitikan mutakhir kita. Para politisi, pejabat, penguasa, calon bupati, wakil rakyat, sepertinya gemar sekali ‘mengobral’ kata yang satu ini di depan publik. Kita yang awam memahami kata tersebut seadanya saja, secara obyektif, bahwa yang dimaksud adalah perubahan bagi nasib kita untuk lebih baik, baik di bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan hal-hal lain yang sangat bersentuhan dengan kebutuhan riil kita. Kita tidak pernah tahu secara pasti, apakah para pejabat dan politisi kita juga memahami kata “perubahan” seperti yang kita pahami dan definisikan itu. Tidak menutup kemungkinan, (jangan-jangan) mereka punya definisi sendiri tentang kata “perubahan” itu. Bisa saja yang dimaksud dengan “perubahan” itu sama sekali bukanlah perubahan nasib rakyat, tetapi perubahan nasib politisi dan pejabat sendiri setelah menduduki jabatan publik; perubahan itu menyangkut status sosial, fasilitas hidup, kekuasaan, dan sejenisnya. Wallahu a’lam
.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar